Selasa, 10 Mei 2011

Upin dan Ipin Digemari Anak Indonesia. Salahkah??

Sinema anak Upin dan Ipin memiliki banyak penggemar di Indonesia. Upin dan Ipin ini padahal merupakan sinema buatan negeri tetangga yang sering bersitegang dengan Indonesia, Malaysia! Ketegangan dengan Malaysia disebabkan oleh banyak hal, antara lain masalah perbatasan, klaim budaya, dan perang di dunia maya. Namun nampaknya hal itu tidak mempengaruhi  minat terhadap sinema Upin dan Ipin ini. Anak-anak Indonesia sangat menyenangi Upin dan Ipin. Banyak barang-barang yang memasang Upin dan Ipin sebagai gambar atau model, seperti tas, tempat pensil, celengan, gambar di baju dll.
Kesenangan anak bangsa terhadap produk luar (dalam hal ini produk dari bangsa yang dibenci rakyat Indonesia) mengundang dilema. Anak-anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa malah senang akan produk negara tetangga. Salahkah anak menyukai Upin dan Ipin?
Berikut beberapa alasan mengapa Upin dan Ipin disukai anak-anak Indonesia:
  1. Upin dan ipin menampilkan kisah anak secara jujur; 
Upin dan Ipin menampilkan kisah anak-anak yang sesungguhnya. Kisah yang mengisahkan anak-anak sesuai masa perkembangannya. Upin dan Ipin tidak melulu menampilkan perilaku yang sangat sopan, sesuai aturan, rajin. Mereka terkadang menampilkan kisah kenakalan anak-anak yang memang sering dialami anak seusianya. Tidak seperti sinema anak Indonesia, dimana tokoh utamanya digambarkan dengan sangat sempurna, anak yang sangat rajin, sabar, suka menasehati yang lain. Sifat seperti ini sudah terlalu sering dan terlalu muluk serta tidak realistis. Sebaik-baiknya anak, ada kalanya mereka melakukan kenakalan dan ini sangat normal terjadi. Inilah yang ada di sinema Upin dan Ipin namun tidak ada di sinema anak Indonesia. Belum lagi dengan kisah percintaan yang selalu ada dan cenderung ditonjolkan dalam sinema anak Indonesia.  Anak belum saatnya mengerti akan hal-hal seperti itu. Dengan dipertontonkan adegan percintaan tersebut, apakah tidak seperti mengajari anak-anak supaya pacaran sejak dini?
  1. Dialeg Melayu yang terdengar lucu;
Dialog dalam sinema Upin dan Ipin menggunakan Bahasa Melayu. Bahasa Melayu mempunyai kemiripan dengan Bahasa Indonesia. Pengucapan Bahasa Melayu yang banyak menggunakan huruf vokal  “e” terdengar lucu. Anak-anak Indonesia merasa Bahasa Melayu tidak terlalu asing sehingga mereka bisa dengan cepat membandingkan dengan Bahasa Indonesia saat terjadi dialog.  Vokal yang terdengar lucu dan kosakata yang tidak terlalu asing membuat dialog Bahasa Melayu Upin dan Ipin lebih enak dinikmati.
  1. Animasi yang lucu;
Animator Upin dan Ipin memang hebat. Berhasil menggambarkan karakter anak dengan lucu. Bintang yang digambarkan memiliki kepala botak, hidung, kaki dan tangan kecil. Bintang tersebut nampak seperti anak balita yang masih lucu-lucunya.
  1. Tidak ada tokoh anak yang jahat/nakal (antagonis);
Semua tokoh anak dalam sinema ini adalah teman-teman sepermainan. Semua melakukan aktivitas  anak-anak, dari mulai bermain dan belajar. Tidak ada kisah dimana ada anak yang berperan sebagai tokoh yang jahat. Anak pada dasarnya masih polos, lebih senang bermain walaupun permainan tersebut kadang  usil. Tapi tetap ditampilkan secara wajar namun menonjolkan sisi keasyikan dari dunia anak. Berbeda dengan sinema anak Indonesia yang sering terdapat tokoh jahat yang selalu berusaha melakukan tindakan tidak baik kepada tokoh utamanya dan adegan perseteruan tokoh . Anak menjadi tidak suka kepada tokoh jahat dan secara tidak langsung mengajari anak untuk membenci anak yang dianggap jahat/nakal, bukannya malah mengajari untuk merangkul anak tersebut untuk menjadi baik. Anak lebih suka melihat kebaikan. Mereka lebih suka melihat kerjasama, keceriaan, kebersamaan dari pada melihat permusuhan.
  1. Latar belakang tempat asri;
Setting tempat sinema Upin dan Ipin berada di sebuah desa yang masih sangat asri. Tidak banyak modernisasi disana. Daerah perkampungan yang enak dilihat mata. Kehidupan yang diperlihatkan menjadi nampak menyenangkan. Tengok setting tempat sinema Anak Indonesia. Beberapa setting tempat  menampakan daerah yang membuat anak tegang, takut, was-was, sedih dan iba seperti misalnya kolong jembatan dan  perumahan kumuh. Lainnya menampakan daerah fantasy island yang mungkin bagi sebagian besar anak tidak mengalami atau bahkan tidak sampai membayangkan. Ada juga setting pedesaan namun itu nampak tidak alami dan dibuat-buat dengan properti film.
  1. Kegiatan yang ditampilkan banyak permainan anak;
Selain menciptakan animasi yang lucu, banyak kegiatannya berupa keseruan bermain saat masih kanak-kanak. Tidak lupa disisipkan permainan anak jaman dahulu sehingga unsur budaya dimasukan secara tersirat dan menarik. Anak-anak secara tidak langsung ikut menikmati permainan yang nampak asyik dimainkan oleh tokoh-tokoh dalam sinema Upin dan Ipin.
  1. Tokoh-tokoh utamanya selalu nampak ceria dan bersemangat;
Jarang sekali terlihat tokoh utama terlihat bersedih. Mereka selalu nampak polos, ceria, dan bersemangat. Tidak ada isak tangis, jerit ketakuta, dan teriakan berontak. Hal ini mensugesti penonton, dalam hal ini anak-anak, untuk merasa ceria dan bersemangat juga. 
 
Anak-anak butuh kesenangan hidup di dunianya secara jujur tanpa ada unsur dewasa lainya. Tidak ada permusuhan, tidak ada drama percintaan, tidak ada tragedi, yang ada hanyalah kesenangan menjadi anak-anak sesungguhnya.  Itulah beberapa alasan yang membuat sinema Upin dan Ipin banyak digemari.
Sekarang bagi orang-orang dewasa, patutkah kita memaksakan anak untuk menikmati tontonan yang tidak mendidik, penuh rekayasa, penipuan, adegan berlebihan, kekerasan dalam layar kaca televisi Indonesia? Anak-anak belum mengerti hal itu. Mereka bosan dan tidak tertarik. Fungsi kognitif mereka belum berkembang. Belum mampu mencerna permasalahan kompleks orang dewasa. Sangatlah kejam bila kita memaksa mereka membuang hak mereka dan memaksa menggantinya dengan tayangan mengerikan di TV.
Mengeluh memang tidak banyak berguna. Secepatnya dibuat tayangan untuk anak-anak yang ditampilkan secara jujur, pas sesuai realita perkembangan dunianya, dan ada unsur edukatif yang diselipkan. Tentu saja tanpa banyak unsur dewasa yang tidak membangun. Menghidupkan kembali tayangan “si Unyil” merupakan salah satu cara terbaik. Melihat acara ini juga menampilkan hal-hal menarik layaknya tayangan Upin dan Ipin. Bahkan si Unyil memiliki memiliki kelebihan berupa setting tempat yang asri namun dibuat dengan tangan. Namun apabila dirasa tidak mengikuti perkembangan jaman, bisa juga menciptakan tokoh yang “Indonesia” namun juga memiliki kelebihan tayangan Upin dan Ipin. Beberapa ide tokoh tersebut salah satunya mungkin “Pandawa Lima”.

Senin, 09 Mei 2011

Komunikasi Kelompok Pendekatan Teori Mc Gregor; Action & Tujuan

Komunikasi sebenarnya berasal dari Bahasa Inggris communication, yang bersumber dari kata communis yang berarti sama, dalam hal ini sama maknanya, sehingga jika kita mengadakan komunikasi dengan orang lain, berarti kita sedang mengadakan kesamaan makna dengan orang lain yang kita ajak bicara tersebut.
Komunikasi merupakan proses pengiriman lambang yang mengandung arti dari individu yang satu ke individu yang lain atau dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Pengiriman lambang ini dapat juga terjadi antara individu dengan kelompok. Lambang-lambang yang dipergunakan harus dipahami oleh komunikator maupun komunikan, atau sekurang-kurangnya dianggap dipahami untuk memungkinkan kelanjutan dari kegiatan komunikasi antara pihak yang berkepentingan.
Komunikasi akan mudah berlangsung lebih lanjut antara orang-orang atau kelompok-kelompok yang sependapat atau sekurang-kurangnya sudah mempunyai pendapat yang sama tentang suatu masalah (Anoraga, 1995:230). Adapun proses komunikasi merupakan tahapan-tahapan penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan.
Kotler dalam Effendy (2001:18) mengatakan bahwa mengacu pada paradigma Harold Lasswell, terdapat unsur-unsur komunikasi dalam proses komunikasi, yaitu:
1.      Sender adalah komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang
2.      Encoding (penyandian) adalah proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang
3.      Message adalah pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator
4.      Media adalan saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan
5.      Decoding adalah proses dimana komunikan menetakan makna lambang yang disampaikan komunikator kepadanya
6.      Receiver adalah komunikan yang menerima pesan dari komunikator
7.      Response adalah tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterima pesan
8.      Feedback adalah umpan balik, yaitu tanggapan komunikan apabila pesan tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator
9.      Noise adalah gangguan yang tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya
Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Kedua definisi komunikasi kelompok di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu umtuk mencapai tujuan kelompok.
Batasan lain mengenai komunikasi kelompok dikemukakan oleh Ronald Adler dan George Rodman. Mereka mengatakan bahwa kelompok atau group merupakan sekumpulan kecil orang yang saling berinteraksi, biasanya tatap muka dalam waktu yang lama guna mencapai tujuan tertentu (a small collection of people who interct with each other, usually face to face, over time order to reach goals).
Ada empat elemen yang tercakup dalam definisi di atas. Menurut pendekatan teori Mc Gregor (1960) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kelompok, terdapat 2 faktor yang menjadi inti dari definisi di atas, yaitu :
1.      Action
a.    Interaksi tatap muka, jumlah partisipan yang terlibat dalam interaksi, maksud atau tujuan yang dikehendaki dan kemampuan anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya.
b.   Terminologi tatap muka (face-toface) mengandung makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat mengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya. Batasan ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan individu yang sedang melihat proses pembangunan gedung/bangunan baru. Dengan demikian, makna tatap muka tersebut berkait erat dengan adanya interaksi di antara semua anggota kelompok. Jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok berkisar antara 3 sampai 20 orang. Pertimbangannya, jika jumlah partisipan melebihi 20 orang, kurang memungkinkan berlangsungnya suatu interaksi di mana setiap anggota kelompok mampu melihat dan mendengar anggota lainnya. Dan karenannya kurang tepat untuk dikatakan sebagai komunikasi kelompok.
c.    Interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan faktor yang penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat perbedaan antara kelompok dengan istilah yang disebut dengan coact. Coact adalah sekumpulan orang yang secara serentak terkait dalam aktivitas yang sama namun tanpa komunikasi satu sama lain. Misalnya, mahasiswa yang hanya secara pasif mendengarkan suatu perkuliahan, secara teknis belum dapat disebut sebagai kelompok. Mereka dapat dikatakan sebagai kelompok apabila sudah mulai mempertukarkan pesan dengan dosen atau rekan mahasiswa yang lain.
Elemen penting yang terdapat dalam interaksi adalah waktu. Sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka waktu yang singkat, tidak dapat digolongkan sebagai kelompok. Kelompok mempersyaratkan interaksi dalam jangka waktu yang panjang, karena dengan interaksi ini akan dimiliki karakteristik atau ciri yang tidak dipunyai oleh kumpulan yang bersifat sementara.
d.   Ukuran atau jumlah partisipan dalam komunikasi kelompk. Tidak ada ukuran yang pasti mengenai jumlah anggota dalam suatu kelompok. Ada yang memberi batas 3-8 orang, 3-15 orang dan 3-20 orang. Untuk mengatasi perbedaan jumlah anggota tersebut, muncul konsep yang dikenal dengan smallness, yaitu kemampuan setiap anggota kelompok untuk dapat mengenal dan memberi reaksi terhadap anggota kelompok lainnya. Dengan smallness ini, kuantitas tidak dipersoalkan sepanjang setiap anggota mampu mengenal dan memberi rekasi pada anggota lain atau setiap anggota mampu melihat dan mendengar anggota yang lain/seperti yang dikemukakan dalam definisi pertama.
2.      Tujuan/obyektif, dipahami secara jelas dan diterima oleh anggota kelompok
a.    Maksud atau tujuan yang dikehendaki sebagai elemen ini, bermakna bahwa maksud atau tujuan tersebut akan memberikan beberapa tipe identitas kelompok. Kalau tujuan kelompok tersebut adalah berbagi informasi, maka komunikasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menanamkan pengetahun (to impart knowledge). Sementara kelompok yang memiliki tujuan pemeliharaan diri (self-maintenance), biasanya memusatkan perhatiannya pada anggota kelompok atau struktur dari kelompok itu sendiri. Tindak komunikasi yang dihasilkan adalah kepuasan kebutuhan pribadi, kepuasan kebutuhan kolektif/kelompok bahkan kelangsungan hidup dari kelompok itu sendiri. Dan apabila tujuan kelompok adalah upaya pemecahan masalah, maka kelompok tersebut biasanya melibatkan beberapa tipe pembuatan keputusan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Tujuan yang mengandung pengertian bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi anggota kelompok tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuannya.
b.   Elemen terakhir adalah kemampuan anggota kelompok untuk menumbuhkan karateristik personal anggota lainnya secara akurat. Ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok secara tidak langsung berhubungan dengan satu sama lain dan maksud/tujuan kelompok telah terdefinisikan dengan jelas, di samping itu identifikasi setiap anggota dengan kelompoknya relatif stabil dan permanen.

MEMAHAMI KOMUNIKASI DALAM KELOMPOK

Tipe Kelompok
Ronald B. Adler dan Goerge Rodman dalam membagi kelompok dalam tiga tipe, yaitu kelompok belajar (learning group), kelompok pertumbuhan (growth group), dan kelompok pemecahan masalah (problem-solving group). Masing-masing tipe kelompok memiliki karakteristik(action) dan tujuan yang berbeda.
1.      Kelompok Belajar (learning group)
Tujuan dari learning group ini adalah meningkatkan pengetahuan atau kemampuan para anggotanya. Satu ciri action yang menonjol dari learning group ini adalah adanya pertukaran informasi dua arah, artinya setiap anggota dalam kelompok belajar adalah kontributor atau penyumbang dan penerima pengetahuan.
2.      Kelompok Petumbuhan (growth group)
Kelompok pertumbuhan lebih memusatkan actionnya kepada permasalah pribadi yang dihadapi para anggotanya. Seluruh tujuan kelompok diarahkan kepada usaha untuk membentuk para anggotanya mengidentifikasi dan mengarahkan mereka untuk peduli dengan persoalan pribadi yang mereka hadapi. Cotohnya kelompok bimbingan perkawinan, kelompok bimbingan psikologi, kelompok terapi.
3.      Kelompok Pemecahan Masalah (problem-solving group)
Orang -orang yang terlibat dalam kelompok pemecahan masalah, bekerja bersama-sama untuk mengatasi persoalan bersama yang mereka hadapi.
Problem solving gorup dalam opersionalsasinya, mlibatkan dua aktivitas penting.
  1. Action: Pengumpulan informasi (gathering information); bagaimana suatu kelompok sebelum membuat suatu keputusan, berusaha mengumpulkan informasi yang penting dan berguna untuk landasan pengambilan keputusan tersebut.
  2. Tujuan: Pembuatan keputusan atau kebijakan itu sendiri yang berdasar pada hasil pengumpulan informasi.

Fungsi Komunikasi Kelompok berdasar Action dan Tujuan
1.      Fungsi hubungan social. Suatu kelompok mampu memelihara dan memantapkan hubungan sosial di antara para anggotanya seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk melakukan aktivitas yang informal, santai dan menghibur.
2.      Fungsi Pendidikan. Kelompok secara formal maupun informal bekerja untuk saling bertukarn pengetahun. Fungsi pendidikan ini akan sangat efektif jika setiap anggota kelompk membawa pengetahuan yang berguna bagi kelompoknya. Tanpa pengetahuan baru yang disumbangkan msing-masing anggota, mustahil fungai edukasi ini akan tercapai.
3.      Fungsi persuasi. Seorang anggota kelompok berupaya mempersuasikan anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang yang terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa resiko untuk tidak diterima oleh para anggota lainnya jika usaha-usaha persuasif tersebut terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok.
4.      Fungsi memecahkan persoalan dan membuat keputusan-keputusan. Pemecahan masalah (problem solving) dilakukan dengan berinteraksi dan bertukar pengetahuan atau pikiran untuk membuat suatu tujuan yang objektif.
5.      Fungsi terapi. Objek/tujuan dari kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan personalnhya. Tentunya, individu tersebut harus berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya guna mendapatkan manfaat, namun usaha utamanya adalah membantu dirinya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


Politisi "Artis"

Latar Belakang Masalah

Genderang perang Pemilihan umum telah ditabuh oleh para Partai Politik dan calon legislatif. Dinamika politik di masyarakat pun mulai bergejolak.
Pilkada sebagai wujud pelaksanaan demokrasi memang seolah menjadi lahan potensial untuk digarap dalam mencapai tujuan yang diinginkan, bukan hanya politisi, pengusaha, tapi berbagai kalangan masyarakat termasuk artis. Keinginan untuk terjun ke kancah perpolitikan yang marak digeluti oleh para artis sekarang ini entah itu sekadar latah belaka atau memang panggilan hati mereka untuk menjadi pelayan masyarakat melalui jalur yang berbeda dengan yang selama ini mereka geluti
Makin hari makin banyak artis yang diajak maju di beberapa  pilkada dan pemilu legislatif sampai-sampai nama salah satu partai terkenal diplesetkan menjadi Partai Artis Nasional.
Artis–artis sekarang ini tidak lagi hanya sekadar menggoyang panggung hiburan pada saat kampanye sebagai pendukung salah satu kandidat kepala daerah, tapi mereka sendiri sudah terjun sebagai kandidat yang mengampanyekan dirinya. Sebut saja diantaranya Rano Karno, Dede Yusuf yang sudah lebih dulu dan yang terbaru adalah Julia Perez.
Banyaknya artis yang ikut maju di kancah pemilihan kepala daerah (pemilukada), dinilai politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfud Sidik, sebagai usaha partai politik (parpol) untuk merebut kursi kekuasaan di daerah.
Pengamat politik Muhammad Qodari menyebutkan, fenomena artis-artis terjun ke pilkada memang menarik untuk dicermati. Dia melihat artis melenggang ke pilkada awalnya bukan niatan sang artis sendiri, namun bujukan dan rayuan partai-partai politik (parpol). Artis menjadi sasaran rayuan, karena popularitas selebriti sangat layak dijual. "Berbagai survei membuktikan, untuk memenangkan pilkada itu popularitas nomor satu. Misi dan visi itu menjadi nomor sekian. Itu sebabnya, artis-artis banyak didekati parpol untuk menjadi jago mereka," kata Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer.
Parpol-parpol itu sebenarnya memiliki segudang jago yang intelek, berpengalaman, integritasnya baik, namun sangat sedikit dari kader mereka yang benar-benar ”ngetop”. Karena itu, dengan menjagokan artis, parpol-parpol tak perlu capek-capek mempopulerkan terlebih dahulu jagoannya. Namun yang sesalkan, aspek kualitas menjadi dinomorsekiankan oleh parpol. Karena pragmatisnya, parpol cenderung mengabaikan bobot kepemimpinan jagoannya.
Munculnya para artis menjadi politikus, kini bukan hal yang baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Bahkan munculnya para artis yang berhasil melenggang ke kursi terhormat DPR/DPRD sudah terjadi pada era orde baru. Yang menjadi pemikiran adalah mengapa fenomena ini dapat terjadi? Apakah mampu para artis tersebut menjadi pemipin daerah tanpa memiliki latar belakang pengetahuan politik sebelumnya? Sedangkan politisi yang telah lama berkecimpung di dunia politik saja belum tentu dapat menjadi pemimpin yang baik.

Pembahasan

Masyarakat Indonesia selain mengharapkan adanya tokoh-tokoh muda yang siap menjadi pemimpin politik baik itu di tingkat daerah (menjadi bupati atau gubernur) maupun ditingkat nasional (menjadi presiden), masyarakat juga mengharapkan munculnya tokoh-tokoh alternatif yang potensial, bukan hanya tokoh-tokoh lama yang sudah tua dan dianggap tidak membawa perubahan.  
Dulu, ada imej, artis sebagai penghibur saja. Bahkan, ada yang berprilaku ‘aneh-aneh’. Kini, ternyata citra artis membumbung, dan dipercaya rakyat untuk mengantungkan harap.
Lain halnya dengan politikus. Citra mereka  sedang babak belur. Mulai dari kasus syahwat sampai korupsi. Yang terakhir sedang mengalami peak: Tiada hari tanpa berita korupsi politikus di media cetak dan elektronik.
Ini bukan menjadi hal yang tabu lagi artis jadi politisi, namun tetap saja, selalu menuai kontradisksi karena artis dianggap kurang kredibel dan mengambil jalan pintas (instant) dalam berpolitik dengan mengandalkan kepopulerannya.
Sejumlah iming-iming fasilitas dan jabatan kehormatan mungkin menjadi salah satu daya tarik yang kuat bagi para seleb yang mencoba keberuntungan di kancah politik. Memang tidak ada yang salah, apalagi di negara demokrasi, siapa saja boleh menjadi pemimpin.
Peluang dan Tantangan Keterlibatan artis dalam pelaksanaan pilkada selain karena keinginannya sendiri, juga karena didorong oleh kehendak masyarakat sendiri. Ini terbukti dari banyaknya artis yang justru dilamar oleh partai-partai politik untuk diusung menjadi kandidat dalam pilkada atau oleh kalangan-kalangan yang hendak maju dalam pilkada melalui jalur perseorangan.
Tapi apakah langkah para selebritis ini benar-benar sejalan dengan kemampuan mereka secara keilmuan dan kesiapan psikis untuk menjadi panutan bagi rakyat yang dipimpinnya kelak? Fakta dan sejarah perpolitikan di tanah air ini belum menunjukkan keberhasilan seorang artis ketika berkiprah di dunia politik. Bisa jadi ketika menjalankan profesi keartisannya begitu total dan menghayati peran yang dilakoninya, tetapi ketika memasuki dunia perpolitikan seolah masuk ke dunia lain yang tentu saja jauh berbeda dari panggung keartisan.
Fenomena tersebut hanya sebagian definisi dari keseluruhan. Sedang yang lain adalah selebriti karena klan politik(misalnya Puan Maharani dan Edhie Baskoro Yudhoyono), politisi yang tertimpa kasus negatif, dan siapapun yang setia memperjuangkan kebijakan publik tertentu (khususnya jika ia mampu melakukan dengan ”politik selebritis”, istilah ini membutuhkan pembahasan terpisah)
Dalam ilmu komunikasi politik, sesungguhnya definisi selebriti politik adalah tokoh mana pun (baik politisi, artis, maupun hanya orang biasa) yang mampu menyita ruang-ruang media massa dalam perbuatan atau pernyataan yang memiliki akibat politik, khusunya terhadap kebijakan politik(dalam Effendi Gazali, (Koordinator Program Magister Komunikasi Politik UI).
Kelahiran artis-politikus (anggota legislative) adalah buah dari demokrasi. Tapi, diharapkan agar Senayan tidak berubah menjadi sumber gosip. Apalagi, bila gosip-gosip yang muncul berkelas tayangan infotaimen belaka. Risiko yang dimaksud adalah, pertama, dari segi psikologi politik, polarisasi di dalam internal partai akan terbelah ke dalam dua kubu besar.
Masing-masing kubu ini dikendalikan oleh perasaan yang berbeda. Yang satu merasa sebagai penghuni tetap dan menuding kaum selebritas sebagai pendatang yang tak berkeringat. Dan, para selebritas merasa percaya diri dengan bermodal kepopulerannya.
Kedua, para artis bisa menjadi pendongkrak atau bahkan sebaliknya, menjadi batu sandungan terhadap citra perpolitikan lembaga dewan. Kedua potensi ini, sedari awal, tidak melekat pada anggota legislatif dari kalangan politisi biasa. Inilah kekhasan artis. Ada dua asumsi yang dapat digunakan sebagai penjelasannya.
Asumsi pertama adalah para artis merupakan kalangan yang telah “punya harga” tersendiri bagi dunia pers. Posisi mereka di lembaga dewan bisa jadi tinggal menunggu untuk didatangi para pemburu berita. Ibarat kata, kelak, tiada berita politik dewan tanpa kemunculan para artis. Hal ini harus benar-benar termanfaatkan secara optimal.
Memang, asumsi ini dapat ditafsirkan hanya mendudukkan para artis sekadar sebagai “bunga-bunga” politik. Karena ini adalah pasar politik yang terbuka, asumsi ini sah saja untuk dilekatkan. Sekarang, tinggal bagaimana kalangan artis meresponsnya.
Asumsi kedua adalah kelanjutan dari asumsi yang pertama di atas. Para artis kebanyakan awam dengan dunia politik praktis, maka, rawan untuk dijadikan kambing hitam terhadap buruknya kinerja dewan. Kesalahan sedikit saja menjadi tumpuan gosip tak sedap. Ujung-ujungnya, gosip-gosip itu dapat dikelola oleh politikus Senayan yang sudah profesional sebagai sumber untuk menutupi buruknya kinerja dewan secara umum.
Ketiga, ketenaran artis sebagai penguji ketenaran putra-putri mahkota yang selama ini menjadi “artis” partai. Bila dibandingkan para artis, putra-putri mahkota dari petinggi partai, itu sebenarnya tidak kalah instan dalam menduduki jabatan-jabatan puncak di dalam tubuh partai politik.
Kepopuleran yang telah mereka raih sebagai selebritis memang menjadi keuntungan tersendiri dibanding dengan politikus yang masih harus berusaha menjadi “seleb”. Apalagi jika keinginan para seleb ini lebih dipopulerkan melalui infotainment yang menyosialisasikan setiap tingkah selebritis ini.
Kepopuleran yang mereka miliki seolah menjadi modal terbesar untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat. Seabrek alasan lain juga diutarakan sebagai pembenar mengapa para seleb ini memilih banting setir ke dunia politik, bahkan tidak sedikit dari mereka yang memilih hengkang total dari dunia keartisan yang selama ini membesarkan namanya. Meskipun ada sebagian yang bisa mempersandingkan antara dunia politik dan profesi keartisan.

Solusi

Seorang artis yang mau terjun ke dunia politik hendaknya memahami betul apakah keinginannya itu betul-betul untuk kepentingan rakyat dan bukan hanya menambah kepopulerannya semata, melainkan memerhatikan kemampuan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah.
Akan lebih bijak  jika seorang artis sebelum memutuskan untuk hengkang dari panggung keartisan ke panggung politik, memahami, mempelajari dan menimba pengalaman dunia perpolitikan lebih dahulu.
Hendaknya para artis bersabar dan berproses dalam mengenal dunia politik. Terus belajar, membaca dan memahami serta memberikan solusi terhadap isu-isu sosial dan politik akan menjadi modal dasar bagi siapapun yang memutuskan untuk berpolitik.
Para politikus harus berbenah diri. Mempertebal kompetensi, menghilangkan citra negatif karena perilaku tidak terpuji seperti kasus seksual atau korupsi. Politikus yang bukan haus ‘kekuasaan’ dan dengan itu memperkaya diri, tetapi politikus yang benar-benar, sepertri dikampanyekan, berjuang demi rakyat, memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Rakyat juga sebaiknya lebih bisa memilah siapa yang akan mereka pilih nanti. Pilihan yang tepat akan membuat daerah yang dipimpin calon tersebut lebih baik. Sebaliknya, jika salah memilih pemimpin, bisa jadi si pemimpin bakal salah urus.

 
DAFTAR PUSTAKA

Pati, Sakka. 2010. Ketika Artis Menggoyang Pilkada. http://www.fajar.co.id/koran/1270430725FAJAR.UTM_5_4.pdf. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.00. 

Gultom, Binsar M. 2009. Menimbang Serbuan Caleg Artis. http://www.surya.co.id/2009/04/28/menimbang-serbuan-caleg-artis.html. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.20. 


Ilmu Psikologi Indonesia.2008. Demo Presi 2. http://www.ilmupsikologi.com/?p=57. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.00. 



Nurul. 2010. Artis Kurang sabar Berpolitik. http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/24/nurul-arifin-artis-kurang-besabar-untuk-. berpolitik/. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.10. 


PTTUN. 2009. Tren Artis Bertarung di Pilkada. http://www1.pttun-jakarta.go.id/gpdf.php?pdf=artikel&id=7. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.15. 


Suhendi, Adi. 2010. Politisi PKS: Kasihan, Artis Hanya Diperalat Parpol. http://www.tribunnews.com/2010/04/19/politisi-pks-kasihan-artis-hanya-diperalat-oleh-parpol. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.25. 


Bh. 2008. Fenomena Artis Jadi Politisi. http://alinur.wordpress.com/2008/04/30/fenomena-artis-jadi-politisi/. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.28. 


Abbas, Ersis Warmansyah. 2008. Artis Versus Politik. http://webersis.com/2008/07/09/artis-versus-politikus/. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.55. 


Halilintar. 2009. Artis Jadi Politikus, Politikus Jadi Artis. http://halilintarblog.blogspot.com/2009/01/artis-jadi-politikus-politikus-jadi.html. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 15.05. 



Zeena, Rahmat. Artis Ramaikan Pilkada, Politisi Salahkan UU. http://software-pilkada.com/component/content/article/57-pilkada/190-artis-ramaikan-pilkada-politisi-salahkan-uu. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.50. 


Gazali Efendi. 2008. Ketika Slebriti Berpolitik Kosong. http://webdev.ui.ac.id/download/kliping/070808/ketika_selebriti_berpolitik_kosong.pdf. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.35. 

Politisi vs Negarawan


Presiden Harry Truman setengah berkelakar menyatakan, “Seorang politisi baru disebut negarawan apabila telah lima belas tahun kembali ke alam baka.” Negarawan paling sederhananya diartikan sebagai orang yang bersedia meninggalkan kepentingan pribadinya dan mengabdi seluruh dirinya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kalau politisi, yang arti dasar dari kata yang disandangnya adalah mereka yang mahir dalam menata kepentingan umum, telah disempitkan sebagai orang yang dapat mencapai segala kepentingannya, terutama kursi kekuasaan, dengan cara-cara cerdik-pandai. “ Setelah menjadi politisi atau pemegang dan penerima mandat dari rakyat, politisi yang mendapat delegasi bekerja hanya demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara, sesuai amanah Konstitusi.
Dengan pemahaman dua tipikal gelar itu, politisi sebenarnyalah mereka yang berwenang untuk merencanakan, mengontrol dan mengevaluasi roda kepentingan rakyat yang dijalankan eksekutif, demi kepentingan rakyat.
Georges Pompidou menyatakan bahwa negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. TANDEF, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak hanya untuk bangsa negaranya (14 Agustus 2008). Sedangkan menurut Dr. Andi Irawan dalam Koran Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya.
Sedang “politisi” adalah nama lain dari “politikus”, itu terjemahan dari bahasa Inggris, “Politician”, artinya “pelaku politik”, yakni orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis, seperti pengurus/aktivis partai politik, para pejabat negara, orang-orang yang duduk di lembaga pemerintahan, dsb.
Setiap daerah perlu seorang negarawan. Yakni mereka yang memiliki karakter mengedepankan kepentingan daerah daripada kepentingan individu, kelompok atau golongannya. Seseorang atau figur yang mampu memberi keteladanan cara berpikir dan berjuang buat bangsa dan rakyat semata. Mereka orang-orang berpendirian teguh dan bertanggung jawab yang berani mengatakan kebenaran walaupun pahit dan risikonya tinggi. Dan pastinya mampu membangun suasana nyaman dan damai jauh dari konflik kepentingan politik sesaat. Kerinduan akan adanya negarawan semakin mengemuka ketika para elit politik memerebutkan kekuasaan puncak. Semua para calon bupati dan wakil bupati berlomba-lomba seakan mereka negarawan.
Namun coba saja kita lihat ketika tempo hari proses koalisi yang dibangun. Diawali dengan adanya proses terbentuknya koalisi besar dengan segala janji dan nafsu besar. Namun belakangan ternyata masing-masing petinggi partai merasa calon merekalah yang paling layak menjadi calon Bupati. Mereka begitu asyik memikirkan kepentingan parpolnya masing-masing. Bukan pada kepentingan bersama yang lebih luas. Begitu juga hal ini terjadi pada setiap proses koalisi partai manapun.
Para caleg tersebut rela berseteru dengan partai yang pernah diusungnya sendiri. Bahkan tidak canggung untuk mengumbar janji dan berpindah ke parpol lain demi memuluskan jalannya menjadi seorang Bupati. Hal ini sekilas menunjukan bahwa mereka bukanlah seorang negarawan. Seorang negarawan akan tetap mempertahankan ideologis yang pernah diusung sebelum menjadi anggota parpol tersebut. Apabila ini tetap terjadi, bukan tidak mungkin mereka hanya akan menjadi politisi yang mengejar jabatan bukan karena panggilan hati dan niat memajukan kesejahteraan rakyat, namun hanya sekedar sebagai profesi yang lebih banyak mengambil keuntungan untuk pribadi dari jabatan tersebut.
Kekuasaan dan segala kebutuhan akan terpenuhi bila menjadi seorang Bupati. Setidaknya mereka akan mendapat banyak fasilitas dari Negara. Menurut teori kebutuhan dari Maslow setidaknya ada 5 kebutuhan yang akan terpenuhi.
Pertama Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah). Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi caleg, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti tunjangan kesehatan dan keluarga, rumah dinas, kendaraan dll, bisa menjadi motif dasar para caleg rela melakukan apa saja untuk menajadi seorang pemimpin daerah. Belum termasuk tunjangan yang akan tetap diterima apabila pensiun
Kedua kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs) Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai kepala daerah. Rasa aman mungkin bisa tercapai bila caleg yang akan menjadi bupati nanti bekerja dengan amanah dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun apabila tidak terjadi sesuai pertauran yang ada, maka para bupati kelak akan tersangkut masalah seperti halnya bupati terdahulu. Namun dengan kekuasaannya, masalah hukum tidaklah terlalu menjadi beban.
Ketiga, kebutuhan sosial (Social Needs).Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Menjadi seorang Bupati akan meningkatkan status soialnya. Bupati akan dipandang sebagai orang yang sangat terhormat dan disegani banyak orang.
Keempat, kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs). Kebutuhan akan kedudukan . Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya sesseorang serta prestise yang ditampilkannya. Seorang negarawan hendaknya lebih mengutamakan kebutuhan untuk berprestasi membangun daerahnya dan mensejahterakan masyrakat.
Kelima, kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization). Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik bagitu pula para caleg. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Akan menjadi sangat baik apapbila segala kemampuan yang dimiliki akan diabdikan untuk daerah layaknya seorang negarawan yang begitu mencintai daerah yang dipimpinnya.
Segala konflik para caleg dengan masalah yang mereka tinggalkan dibelakang, akan berpengaruh juga bagi masyrakat Sleman terutama pendukung para caleg tersebut. Setidaknya dari kabar yang diterima oleh narasumber, warga NU yang menjadi basic PKB terpecah. Sebagian mendukung Hafidh Asram dan sebagian mendukung Sukamto. Apabila perbedaan tentang dukungan para caleg terus terjadi, dikhawatirkan akan terjadi group think, yakni proses pembuatan keputusan yang kurang baik, sehingga besar kemungkinannya akan menghasilkan keputusan yang jelek dengan akibat yang sangat merugikan.
Gejala-gejala group think sudah mulai terlihat, salah satunya dengan adanya The illusion that the group is invulnerable  atau ilusi pendapat kelompok selalu benar. Misalnya saja pada kelompok pendukung Sukamto mengklaim bahwa Hafidh seharusnya tidak mencalonkan diri menjadi Bupati karena pernah berjanji tidak akan maju lagi.
Bila The illusion that the group is invulnerableini terjadi pada semua pendukung caleg, maka akan mengurangi rasa kritsi terhadap caleg yang didukung. Karena sudah terjadi bias bahwa keputusan kelompok, dalam artian kebijakan yang dilakukan para caleg ini dianggap selalu benar. Bagi para caleg yang menang dalam pilkada, The illusion that the group is invulnerable akan membuatnya semakin leluasa dari kritik-kritik masyarakat.