Kamis, 19 Januari 2012

Mahasiswa dan Deret Angka

            Demokrasi adalah ketika suatu kekuasaan terbesar dalam negara dipegang oleh rakyat. Semboyan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat jangan hanya menjadi semboyan ketika para manusia-manusia berdasi sedang berorasi di tengah lapangan. Dielu-elukan oleh kaum yang dibayar 10-15 ribu rupiah dan dikelilingi oleh orang-orang yang siap menampung uang jasa ketika telah terpilih nanti.

           Wakil rakyat. Terdengar sangat mulia bila definisinya adalah orang-orang dari rakyat yang merasakan nasib rakyat dan maju ke depan untuk membela kesejahteraan rakyat.  Namun apa? Rakyat dibodohi secara mentah-mentah. Uang 15 ribu rupiah sudah cukup untuk membeli nasib mereka selama 5 tahun mendatang.
 
           Para wakil atau orang yang setidaknya mengaku sebagai wakil rakyat ternyata bukan berasal dari golongan “rakyat”. Mereka adalah golongan elite yang berusaha menjadi golongan elite dan (mengaku) terhormat di senayan.

           Mereka adalah para pengatur segala kehidupan rakyat. Dari kakus sampai jenis bahan bakar yang harus dikonsumsi rakyat. Bagi mereka mungkin kita hanyalah sederet angka kelahiran, kehidupan dan kematian. Tak peduli dengan seberapa kompleks dan rumit kehidupan yang ada dalam deret itu. Mereka melihat dari atas. Bila perlu deret angka itu dihapus atau dicoret demi kepentingan “rakyat”  yang mereka bela. Dan nantinya akan ada prajurit yang dengan gagah berani mementungi, membakar atau mengubah deret angka itu hinggaj jadi angka yang diinginkan.
 
          Kita sudah melihat aksi dan pintarnya pejabat kita. Ketika hak-hak rakyat ,yang mereka akui sebagai golonga    n yang mereka wakili, dirampas dan dihilangkan. Masih ingat kasus HAM berat di Mesuji, Bima, Aceh dan lain-lain. Bahkan mungkin sudah menjadi langganan di kota-kota besar banyak sengketa lahan yang miris. Ketika sederet angka kumal dihilangkan demi menjadi deret angka Mall, Perumahan, dan Gedung-gedung mewah dari segilintir deret angka berduit.
 
         Kita tahu sudah menjadi tugas penegak hukum untuk menegakan keadilan bagi rakyat yang mereka harusnya lindungi. Tapi apa? Mereka bukan polisi rakyat, mereka menjadi polisi kaum berduit yang mampu membayar mereka. Ketika instansi penegak keadilan seperti Mahkamah Agung menjadi sarang buaya bagi rakyat kecil, KPK yang sekarang telah menjadi macan ompong,  praktis tak ada lagi barisan yang mampu membela rakyat kecil lagi.
 
           Wakil rakyat yang seharusnya mensejahterakan rakyat malah membuat kebijakan yang bertolak belakang, menutup hati dan telinga atas apa yang terjadi dalam masyarakat. Ketika lembaga tertinggi ini malah menyimpang, tak ada yang mampu menghentikan mereka.
 
          Media masa sekarang sudah tidak segarang dulu. Hanya menyiarkan selama beberapa hari saja realitas yang terjadi dan cukup menyentil para panjahat kerah putih di senayan. Selanjutnya mereka lebih senang menyiarkan apa yang terjadi pada artis-artis ibu kota, lebih senang menampilkan sinetron yang semakin membodohkan masyarakat dengan cerita-cerita khayal sampahnya.

          Atau karena media sekarang hanya bertujuan menyiarkan sesuatu yang dapat merusak image petinggi diatas tanpa peduli dengan masyarakat? Dengan tergulingnya image pemerintah, maka pemilik dari media masa ini dengan mudah tampil dan seakan menjadi pahlawan super yang siap merubah nasib bangsa. Yakin? Hah, strategi bagus untuk merebut simpati rakyat dan cara hebat untuk mengulangi lingkaran kesengsaraan rakyat.
 
        Kini tinggal kaum intelektual muda yang bisa diharapkan. Kaum yang idealis dan mampu membuka mata dengan apa yang terjadi. Kaum yang aktif dan bersemangat. Kaum yang mengerti akan ilmu kenegaraan. Kaum yang mengerti mana hak-hak dilindas. Kaum yang mampu bersuara latang atas apa yang terjadi disekitar.
 
         Mahasiswa! Ya! Mahasiswa! Mereka adalah kaum tersebut. Kaum muda intelek dan penuh idealisme. Kaum yang harus peduli dengan sekitar. Secara teknis, mereka adalah kaum yang paling bebas. Bebas dari beban ekonomi dimana mereka belum wajib memberi makan anak istri. Kaum yang paling bebas memiliki jiwa raganya.  Mereka yang bertanggung jawab sepenuhnya ats dirinya.
 
         Ketika para buruh takut akan di PHK ketika mereka berani bersuara, ketika para pedagang memilih menangis ketimbang lapak dagangannya dibakar atau para guru yang memilih hanya bersuara dikelas karena takut keluarga mereka terancam. Mahasiswa satu-satunya kaum paling bebas yang bisa bersuara dan beraksi.
 
          Apakah masih mengharapkan kaum berlencana membela kita? Bukan mementungi kita? Berharap media masa mengurangi sinetron dan infotainment untuk lebih mensorotkan kamera mereka pada realita miris negeri ini? Atau mengharapkan kaum berdasi di senayan mau berbelas kasih berhemat uang rakyat? Mau bekerja lebih keras tanpa toilet seharga 2 M? Mau turun melihat nasib rakyat tanpa mobil mewah, penjagaan ketat dan dialog masyarakat tanpa teks sebelumnya? Atau menghemat 500juta rupiah untuk menghidupi binatang disana?  Hanya mahasiswa yang mampu kita andalkan sebagai ujung tombak para deret angka rakyat di negeri ini.
 
        Mahasiswa mampu bersuara latang dengan darah mudanya. Mampu berunujuk rasa dengan geloranya. Kalau dipikir-pikir, untung bagi mereka apa? Eksis? Kepanasan di jalan, tenggorokan sampai hampir jebol karena bersuara lantang, atau malah jadi  bulan-bulanan kaum berlencana? Tidak ada untung bagi mereka. Mereka hanya peduli dan prihatin dengan deret angka kecil yang mungkin suatu saat dimusnahkan dengan mudah. Hanya itu yang dapat mereka lakukan saat ini. Merek memang belum berkuasa atas suatu hal besar dalam negeri ini. Namun mereka adalah kaum yang paling terbuka matanya akan nasib deret angka kecil negeri ini. Kaum yang paling berani untuk lantang bersuara. Kaum yang siap mati demi membela deret angka kecil ini. Jadi saya rasa bersyukurlah negeri ini masih ada mahasiswa yang rela berdemo . mahasiswa yang mau bersuara dan peduli.