Senin, 09 Mei 2011

Menyiasati "Kaing-kaing" Kampanye; Memilih Calon Pemimpin atau Partai yang Tepat

Jaman Indonesia baru merdeka, tidak ada pemimpin yang pada masa jabatannya tidak timbul konflik. Jaman Soekarno sampai saat ini (2011) Susilo Bambang Yudhoyono, selalu saja ada masalah. tidak ada pemimpin yang sempurna memang, namun tidak juga diam membiarkan pemimpin yang "ecek-ecek" memimpin negri ini.
Rahasia umum apabila semua calon pemimpin selalu tampil mengesankan dan seperti memberi harapan bagi rakyat saat kampanye. Banyak cara dilakukan supaya calon pemimpin ini mendapat dukungan, minimal simpati rakyat, supaya bisa melenggang menjadi pemimpin negri ini.
Memilih pemimpin berkualitas mutlak diperlukan bila ingin memajukan negeri yang sudah bobrok ini. Berikut beberapa cara yang dapat menjadi pertimbangan dalam memilih calon pemimpin atau partai yang tepat:
  1. Jangan pilih yang terlalu banyak janji;
Banyak janji membuat calon pemimpin mau tak mau harus memenuhi janji tersebut. Dalam jabatan sebagai pemimpin, banyak tugas dan halangan yang datang. Makin banyak janji yang diumbar makin banyak halangan untuk mewujudkannya. Kembali lagi pada kodrat bahwa pemimpin adalah manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan. Saat pemimpin merasa sudah kesusahan dalam mewujudkan janjinya, maka cenderung pemimpin tersebut secara sengaja atau tidak sengaja akan lupa dengan janjinya dahulu. Banyak janji, banyak lupa. Banyak lupa, banyak dosa. Dalam hal ini rakyat dan pemimpin tersebut akan dirugikan. bagi rakyat, harapan mereka akan pupus dan menimbulkan kekecewaan serta tidak terpenuhinya kebutuhan mereka yang dijanjikan pemimpin. Bagi pemimpin, akan menimbulkan banyak dosa, stressor, dan dicaci rakyat habis-habisan. tuh kan kasian kan?
  1. Jangan pilih caleg yang berasal dari partai yang banyak masalah;
Hal ini sudah sangat jelas, apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang berasal organisasi semrawut? Kredibilitas, nilai-nilai yang dijunjung, penerapan peraturan, komitmen, pengelolaan, sumber daya manusia, dan proses-proses dalam partai tersebut akan dipertanyakan. Prosesnya saja dipertanyakan, apalagi hasil calegnya?
  1. Jangan memilih partai yang anggota partainya bermasalah;
Apabila partai semrawut tidak dapat menghasilkan pemimpin berkualitas, maka pemimpin bermasalah mencerminkan partai yang tidak kompeten. Hindari memilih partai yang anggotanya atau jebolan partai pernah terlibat atau bahkan sering terkena masalah (skandal seks, perselingkuhan, korupsi, indisipliner, dll). Hindari juga partai yang anggotanya sering terlihat tidak memihak rakyat. Pemimpin yang selalu menuntut fasilitas tanpa ada hasil maksimal, pemimpin yang keras kepala, tidak peduli suara rakyat. Menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak berkualitas, membuat kualitas partainya juga dipertanyakan. Bagaimana sistem pengkaderan partai tersebut, bagaimana sistem perekrutan calon pemimpin, bagaiman proses pembinaan?
  1. Hindari calon yang narsis berlebihan;
Narsisme ini bisa dalam bentuk mencitrakan dirinya secara berlebihan. Misalnya dengan semboyan "jujur, adil, nasionalis, cintak negara, dekat dengan petani-pemulung-nelayan-penyanyi(soalnya sewaktu kampanye selalu bawa-bawa penyanyi), pembela wong cilik, akrab dengan pedagang, bertakwa, bersahaja, penjaga persatuan, anti korupsi (sangat dipertanyakan), sholeh, rajin mandi-menabung dan tidak sombong, dll". Dengan menonjolkan ke-narsisannya, para calon pemimpin ini secara tidak langsung juga menyombongkan diri. Apabila kecenderungan ini maka patut dipertanyakan kemampuannya yang lain. Asumsinya, dia menonjolkan kelebihannya untuk menutupi kekurangan. Gawatnya lagi, bila kekurangannya itu adalah aspek sentral untuk menjadi pemimpin yang berhasil. Selain itu, sifat sombong sangat tidak disukai Tuhan dan menjadi contoh yang buruk bagi yang dipimpinnya.
  1. Jangan mau nasib kita selama beberapa tahun mendatang dibeli dengan harga 15 ribu rupiah!;
Poin ini merupakan poin paling rawan, karena merupakan poin kelemahan rakyat dan poin senjata ampuh bagi caleg untuk mendapatkan suara. Faktor ekonomi memang merupakan faktor urgent dalam masyarakat. Satu sisi masyarakat perlu bantuan nyata (bisa berupa dana atau material) secara langsung dan secepatnya walaupun hanya belasan ribu, sisi lain masyarakat secara tidak langsung menggadaikan nasibnya untuk beberapa tahun mendatang untuk sekedar uang belasan ribu rupiah. himbauan yang tepat yang bisa meminimalisir hal ini. Alasan umum bila para caleg ini berkilah bahwa uang tersebut hanya untuk  "sedekah". Secara psikologis masyarakat yang menerima "sedekah" itu merasa berhutang kepada caleg tersebut dan balasan yang bisa dilakukan adalah memberikan suaranya.Namun dari sini kita sudah tahu bagaimana kompetensi caleg tersebut. Sebelum memimpin saja sudah memakai cara-cara yang kurang baik, bagaimana saat memimpin? Bisa jadi malah semakin parah. Mari kita renungkan, anggap saja periode pemimpin baru adalah 5 tahun. Apakah sebanding, uang 15 ribu rupiah untuk nasib rakyat selama 5 tahun. Tentu saja tidak sebanding. Belum lagi apabila nanti uang rakyat yang diselewengkan jumlahnya tak terduga. Jauh lebih rugi bukan?
  1. Jangan terlalu percaya statemen data politikus;
Teliti dan selidiki kebenaran statement. Mengingatkan kembali bahwa tidak semua paparan data yang diumbar politikus itu benar. Misalnya ada yang membuat statement bahwa Presiden itu didukung oleh 70% rakyat. Benarkah demikian? Mari kita coba telaah lagi. Anggap saja rakyat Indonesia ada 230 juta jiwa. Benarkah 230 juta jiwa tersebut ikut pemilu semua? Apakah semua anak-anak dibawah umur ikut memilih? Apakah semua yang berhak ikut pemilu itu tidak golput? Andaikata jumlah anak-anak di bawah umur yang belum berhak ikut pemilu ada 35 (anggap saja 1 rumah hanya 2 anak) juta jiwa saja berarti yang berhak ikut pemilu ada 195 juta jiwa. Lalu yang berhak ikut namun golput ada 20 juta, berarti 200 juta dikurangi 20 juta ada 175 juta jiwa. Kembali pada statement bahwa 70% rakyat mendukung presiden, maka 70% dari 175 juta adalah 122,5 jiwa. Itu baru angka optimisnya. Ambil sisi paling optimis saja, berarti hanya 122,5 dari 230 juta berarti hanya sekitar 51% saja. Angka tersebut adalah angka yang cukup muluk apabila melihat rakyat Indonesia cenderung semakin tidak percaya pemimpin rakyat. Masihkah 70% itu berlaku? 
  1. Jangan memilih calon pemimpin dengan alasan tidak rasional;
Kejadian ini sering menimpa pada Ibu-ibu. rakyat memang sudah jengah dengan pemimpin yang tidak kunjung memberikan kemajuan pada kehidupan mereka. Setiap hari mereka hanya disuguhi kelakuan pemimpin yang ribut masalah fasilitas dan saling serang. Rakyat hanya bisa melihat tontonan yang menghibur tersebut dari artis. Saat harapan rakyat pada pemimpin politik mulai pudar, mereka hanya bisa menggantungkan pada calon pemimpin yang kesehariannya bisa menghibur mereka, setidaknya fisik mereka sedap dipandang mata. Ya! penampilan inilah yang menjadi alasan tidak rasional. Fenomena ini banyak terjadi pada ibu-ibu. Memilih calon pemimpin yang wajahnya tampan, nampak gagah, tinggi, putih. Adakah dari salah satu hal tersebut yang mengindikasikan bahwa calon pemimpin tersebut akan menjadi pemimpin sukses? Maukah kita dipimpin oleh pemimpin ganteng tapi idiot?
  1. Waspadai caleg/parpol baru yang banyak sesumbar;
Parpol yang baru biasanya belum banyak pendukung. Mereka datang seperti membawa harapan baru. Mereka tentu saja ingin terus mencari banyak pendukung. Salah satunya dengan banyak mengumbar harapan-harapan baru dan mengumbar cacat partai /pemimpin yang lebih dulu. Saat tujuan mereka tidak terpenuhi, biasanya mereka akan mengekor atau berkoalisi dengan partai besar yang diperkirakan akan memenangkan pemilu. Ketika parpol besar tersebut menang, maka mereka akan minta atau kebagian jatah di kursi Pemerintahan. Terjawab sudah maksud mereka. Tidak perlu ada ideologis yang diperjuangkan, tidak perlu menyuarakan jeritan rakyat, yang penting mapan di Pemerintahan.
  1. Jangan mudah terpengaruh data statistik pemilu;
Data statistik ini bisa berupa diagram polling popularitas atau perolehan suara sementara. Manusia secara psikologis cenderung berpihak pada yang besar, kuat, menang dan banyak pengikutnya. Karena mengikuti kebanyakan akan dianggap normal. Tapi apakah benar data tersebut? Apakah tercantum secara jelas siap-siapa saja yang menjadi pemilih? Bagaiman jika itu hanya permainan operator untuk menunjukan rekayasa? Salah satu kesulitan untuk membuktikannya adalah siapa yang mau repot-repot menanyai kebenaran polling tersebut? Yang terpenting adalah kita tidak mudah terpengaruh.
  1. Jangan mudah tersentuh oleh kunjungan calon pemimpin;
Fenomena ini biasanya ramai terjadi  menjelang pemilu. Para Calon Pemimpin ini berbondong-bondong mencari-cari daerah yang kumuh, tertinggal, dan serba susah. Daerah-daerah tersebut antara lain pasar, kampung-kampung, sawah dan tempat-tempat yang sekiranya kurang diperhatikan pemerintah. Mereka mencari celah kelalaian pemerintah. Mereka akan muncul bak pahlawan yang seakan-akan peduli. Mereka akan duduk bersama rakyat kecil, mendengar keluhan-keluhan, kadang turun tangan langsung melakukan kegiatan bersama rakyat kecil, memberi bantuan, dan tak lupa janji semanis madu. Mereka tak lupa membawa reporter untuk merekam kegiatan dan kepedulian mereka. Sebelumnya sudah direncanakan dan disetting skenario apa-apa yang akan dilakukan. Dan terakhir tak lupa berpose depan kamera. (Lumayan untuk foto baleho waktu kampanye nanti!). Apabila caleg ini menang, apakah mereka akan kembali ke daerah-daerah yang pernah mereka kunjungi waktu kampanye? Atau minimal mereka membuat kebijakan atau memberikan bantuan lagi ke tempat tersebut? Jangankan datang atau repot-repot membuat kebijakan/ bantuan, bisa ingat saja sudah bagus.
  1. Bantuan dan sedekah jangan salah dipersepsi;
Tidak semua caleg menyumbang karena semata-mata untuk mendapat dukungan rakyat. Ada juga yang memang berniat menyumbang. Sumbangan biasanya ditujukan untuk pembangunan tempat ibadah, jalan-jalan, dan fasilitas umum. Sumbangan ini jangan serta merta dianggap sebagai pinjaman dimana kita harus membalas kebaikan mereka. Toh, katanya mereka "menyumbang dengan ikhlas" dan perkataan tersebut sudah dicatat malaikat. Perkara niatnya tulus atau yang lain bukan urusan kita. Kita hanya patut mengucapkan terimakasih dan bersyukur, tidak perlu sampai berlebihan membalas budi hingga mendukung mereka secara membabi-buta. Urusan balas budi mereka sudah ditangani Tuhan, rakyat tetap tidak berhutang. Mungkin memang itu rezeki mereka dari Tuhan. Rakyat tetap memilih yang terbaik. Jangan sampai jalan depan rumah bisa diperbaiki namun jalan masa depan kita menjadi berantakan.
  1. Saudara belum tentu terbaik;
Kembali lagi kepada penyakit masyarakat Indonesia. Walaupun secara psikologis kita akan memilih atau percaya pada hal-hal yang familiar/berada disekitar dan memiliki kedekatan dengan kita. Wajar apabila bangga memiliki saudara atau teman yang menjadi caleg. Kecenderungan untuk mendukung orang-orang terdekat terjadi. Tapi jangan lupa bahwa nanti yang akan dipimpinnya adalah rakyat banyak, bukan sebatas saudara atau teman-teman. Nasib jutaan manusia digantungkan. Toh nantinya yang menduduki jabatan tersebut adalah saudara atau teman kita (apabila menang), bukan kita.
  1. Jangan memilih calon pemimpin yang banyak mengandalkan nama besar orang lain;
Sering dijumpai iklan-iklan calon pemimpin yang disertai tokoh-tokoh terkenal. Tokoh-tokoh politikus yang masih aktif, tidak aktif, pahlawan nasional yang masih mempunyai hubungan kerabat atau organisasi. Dari sini kita bisa melihat bahwa mereka tidak memiliki kepercayaan diri. Mereka menggunakan tokoh terkenal untuk mendongkrak popularitas mereka. Manutupi kelemahan (yang mungkin itu penting) dengan kelebihan popularitas. Perlu diingat bahwa kemampuan memimpin tidak mutlak diturunkan dari leluhur, namun terdapat pelatihan dan pengasahan pola pikir yang matang. Caleg seperti ini hanya menjual popularitas tokoh terkenal, bukan menawarkan kemampuan dirinya sendiri. Kenap? Apakah tak ada kemampuan yang bisa mereka tawarkan?
  1. Jangan mudah memilih partai yang mendundang artis untuk kampanye;
Popularitas artis memang sangat bisa untuk menarik masa. Apalagi artis dangdut yang memiliki body sexy, goyang hot, ganteng, terkenal dan menjadi idola. Setelah masa terkumpul mereka dihipnotis dengan penampilan artis-artis yang aduhai yang berimbas pada pola pikir mereka yang terhanyut dan menjadi tidak rasional. Saat itulah caleg tersebut tampil dan menyebarkan janji serta dogma selezat coklat dan rakyat yang telah terbius dengan goyang aduhai dengan relanya mengikhlaskan nasib mereka selama beberapa tahun mendatang kepada caleg tersebut. Poin utamanya adalah, para artis itu dibayar untuk mengisi acara kampanye, bukan karena para artis tersebut sangat berkompeten dalam menilai calon pemimpin yang baik sehingga mereka mau berjoget-joget dan menghibur rakyat yang haus hiburan. Bukan hal baru lagi jika kita kebanyakn para artis tersebut hanya memiliki penampilan, bukan otak.
  1. Jangan terjebak dengan partai berbasis agama;
Partai berbasis agama tidak menjamin kualitas calon pemimpin yang dihasilkan. Mereka menjual niali-nilai agama tanpa ada tindakan nyata dalam perwujudan nilai-nilai tersebut. Sudah banyak anggota DPR yang berasal dari fraksi berbasis agama yang terjerat kasus-kasus (korupsi, perselingkuhan, seks dll). Masihkah partai berbasis agama menjamin bahwa perilaku pemimpin dari partai tersebut akan berkualitas? Perilaku tidak terpuji pemimpin dari partai berbasis agama hanya akan mencoreng agama tersebut.

Memang tidak ada pemimpin yang sempurna. Namun kita juga tidak boleh tinggal diam dan membiarkan pemimpin tidak berkualitas memimpin bangsa ini. Tulisan ini hanya merupakan pandangan penulis.
Postingan ini akan diusahakan di update terus bila ada informasi tambahan. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar