Senin, 09 Mei 2011

Politisi vs Negarawan


Presiden Harry Truman setengah berkelakar menyatakan, “Seorang politisi baru disebut negarawan apabila telah lima belas tahun kembali ke alam baka.” Negarawan paling sederhananya diartikan sebagai orang yang bersedia meninggalkan kepentingan pribadinya dan mengabdi seluruh dirinya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kalau politisi, yang arti dasar dari kata yang disandangnya adalah mereka yang mahir dalam menata kepentingan umum, telah disempitkan sebagai orang yang dapat mencapai segala kepentingannya, terutama kursi kekuasaan, dengan cara-cara cerdik-pandai. “ Setelah menjadi politisi atau pemegang dan penerima mandat dari rakyat, politisi yang mendapat delegasi bekerja hanya demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara, sesuai amanah Konstitusi.
Dengan pemahaman dua tipikal gelar itu, politisi sebenarnyalah mereka yang berwenang untuk merencanakan, mengontrol dan mengevaluasi roda kepentingan rakyat yang dijalankan eksekutif, demi kepentingan rakyat.
Georges Pompidou menyatakan bahwa negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. TANDEF, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak hanya untuk bangsa negaranya (14 Agustus 2008). Sedangkan menurut Dr. Andi Irawan dalam Koran Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya.
Sedang “politisi” adalah nama lain dari “politikus”, itu terjemahan dari bahasa Inggris, “Politician”, artinya “pelaku politik”, yakni orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis, seperti pengurus/aktivis partai politik, para pejabat negara, orang-orang yang duduk di lembaga pemerintahan, dsb.
Setiap daerah perlu seorang negarawan. Yakni mereka yang memiliki karakter mengedepankan kepentingan daerah daripada kepentingan individu, kelompok atau golongannya. Seseorang atau figur yang mampu memberi keteladanan cara berpikir dan berjuang buat bangsa dan rakyat semata. Mereka orang-orang berpendirian teguh dan bertanggung jawab yang berani mengatakan kebenaran walaupun pahit dan risikonya tinggi. Dan pastinya mampu membangun suasana nyaman dan damai jauh dari konflik kepentingan politik sesaat. Kerinduan akan adanya negarawan semakin mengemuka ketika para elit politik memerebutkan kekuasaan puncak. Semua para calon bupati dan wakil bupati berlomba-lomba seakan mereka negarawan.
Namun coba saja kita lihat ketika tempo hari proses koalisi yang dibangun. Diawali dengan adanya proses terbentuknya koalisi besar dengan segala janji dan nafsu besar. Namun belakangan ternyata masing-masing petinggi partai merasa calon merekalah yang paling layak menjadi calon Bupati. Mereka begitu asyik memikirkan kepentingan parpolnya masing-masing. Bukan pada kepentingan bersama yang lebih luas. Begitu juga hal ini terjadi pada setiap proses koalisi partai manapun.
Para caleg tersebut rela berseteru dengan partai yang pernah diusungnya sendiri. Bahkan tidak canggung untuk mengumbar janji dan berpindah ke parpol lain demi memuluskan jalannya menjadi seorang Bupati. Hal ini sekilas menunjukan bahwa mereka bukanlah seorang negarawan. Seorang negarawan akan tetap mempertahankan ideologis yang pernah diusung sebelum menjadi anggota parpol tersebut. Apabila ini tetap terjadi, bukan tidak mungkin mereka hanya akan menjadi politisi yang mengejar jabatan bukan karena panggilan hati dan niat memajukan kesejahteraan rakyat, namun hanya sekedar sebagai profesi yang lebih banyak mengambil keuntungan untuk pribadi dari jabatan tersebut.
Kekuasaan dan segala kebutuhan akan terpenuhi bila menjadi seorang Bupati. Setidaknya mereka akan mendapat banyak fasilitas dari Negara. Menurut teori kebutuhan dari Maslow setidaknya ada 5 kebutuhan yang akan terpenuhi.
Pertama Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah). Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi caleg, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti tunjangan kesehatan dan keluarga, rumah dinas, kendaraan dll, bisa menjadi motif dasar para caleg rela melakukan apa saja untuk menajadi seorang pemimpin daerah. Belum termasuk tunjangan yang akan tetap diterima apabila pensiun
Kedua kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs) Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai kepala daerah. Rasa aman mungkin bisa tercapai bila caleg yang akan menjadi bupati nanti bekerja dengan amanah dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun apabila tidak terjadi sesuai pertauran yang ada, maka para bupati kelak akan tersangkut masalah seperti halnya bupati terdahulu. Namun dengan kekuasaannya, masalah hukum tidaklah terlalu menjadi beban.
Ketiga, kebutuhan sosial (Social Needs).Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Menjadi seorang Bupati akan meningkatkan status soialnya. Bupati akan dipandang sebagai orang yang sangat terhormat dan disegani banyak orang.
Keempat, kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs). Kebutuhan akan kedudukan . Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya sesseorang serta prestise yang ditampilkannya. Seorang negarawan hendaknya lebih mengutamakan kebutuhan untuk berprestasi membangun daerahnya dan mensejahterakan masyrakat.
Kelima, kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization). Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik bagitu pula para caleg. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Akan menjadi sangat baik apapbila segala kemampuan yang dimiliki akan diabdikan untuk daerah layaknya seorang negarawan yang begitu mencintai daerah yang dipimpinnya.
Segala konflik para caleg dengan masalah yang mereka tinggalkan dibelakang, akan berpengaruh juga bagi masyrakat Sleman terutama pendukung para caleg tersebut. Setidaknya dari kabar yang diterima oleh narasumber, warga NU yang menjadi basic PKB terpecah. Sebagian mendukung Hafidh Asram dan sebagian mendukung Sukamto. Apabila perbedaan tentang dukungan para caleg terus terjadi, dikhawatirkan akan terjadi group think, yakni proses pembuatan keputusan yang kurang baik, sehingga besar kemungkinannya akan menghasilkan keputusan yang jelek dengan akibat yang sangat merugikan.
Gejala-gejala group think sudah mulai terlihat, salah satunya dengan adanya The illusion that the group is invulnerable  atau ilusi pendapat kelompok selalu benar. Misalnya saja pada kelompok pendukung Sukamto mengklaim bahwa Hafidh seharusnya tidak mencalonkan diri menjadi Bupati karena pernah berjanji tidak akan maju lagi.
Bila The illusion that the group is invulnerableini terjadi pada semua pendukung caleg, maka akan mengurangi rasa kritsi terhadap caleg yang didukung. Karena sudah terjadi bias bahwa keputusan kelompok, dalam artian kebijakan yang dilakukan para caleg ini dianggap selalu benar. Bagi para caleg yang menang dalam pilkada, The illusion that the group is invulnerable akan membuatnya semakin leluasa dari kritik-kritik masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar