Senin, 09 Mei 2011

Politisi "Artis"

Latar Belakang Masalah

Genderang perang Pemilihan umum telah ditabuh oleh para Partai Politik dan calon legislatif. Dinamika politik di masyarakat pun mulai bergejolak.
Pilkada sebagai wujud pelaksanaan demokrasi memang seolah menjadi lahan potensial untuk digarap dalam mencapai tujuan yang diinginkan, bukan hanya politisi, pengusaha, tapi berbagai kalangan masyarakat termasuk artis. Keinginan untuk terjun ke kancah perpolitikan yang marak digeluti oleh para artis sekarang ini entah itu sekadar latah belaka atau memang panggilan hati mereka untuk menjadi pelayan masyarakat melalui jalur yang berbeda dengan yang selama ini mereka geluti
Makin hari makin banyak artis yang diajak maju di beberapa  pilkada dan pemilu legislatif sampai-sampai nama salah satu partai terkenal diplesetkan menjadi Partai Artis Nasional.
Artis–artis sekarang ini tidak lagi hanya sekadar menggoyang panggung hiburan pada saat kampanye sebagai pendukung salah satu kandidat kepala daerah, tapi mereka sendiri sudah terjun sebagai kandidat yang mengampanyekan dirinya. Sebut saja diantaranya Rano Karno, Dede Yusuf yang sudah lebih dulu dan yang terbaru adalah Julia Perez.
Banyaknya artis yang ikut maju di kancah pemilihan kepala daerah (pemilukada), dinilai politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfud Sidik, sebagai usaha partai politik (parpol) untuk merebut kursi kekuasaan di daerah.
Pengamat politik Muhammad Qodari menyebutkan, fenomena artis-artis terjun ke pilkada memang menarik untuk dicermati. Dia melihat artis melenggang ke pilkada awalnya bukan niatan sang artis sendiri, namun bujukan dan rayuan partai-partai politik (parpol). Artis menjadi sasaran rayuan, karena popularitas selebriti sangat layak dijual. "Berbagai survei membuktikan, untuk memenangkan pilkada itu popularitas nomor satu. Misi dan visi itu menjadi nomor sekian. Itu sebabnya, artis-artis banyak didekati parpol untuk menjadi jago mereka," kata Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer.
Parpol-parpol itu sebenarnya memiliki segudang jago yang intelek, berpengalaman, integritasnya baik, namun sangat sedikit dari kader mereka yang benar-benar ”ngetop”. Karena itu, dengan menjagokan artis, parpol-parpol tak perlu capek-capek mempopulerkan terlebih dahulu jagoannya. Namun yang sesalkan, aspek kualitas menjadi dinomorsekiankan oleh parpol. Karena pragmatisnya, parpol cenderung mengabaikan bobot kepemimpinan jagoannya.
Munculnya para artis menjadi politikus, kini bukan hal yang baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Bahkan munculnya para artis yang berhasil melenggang ke kursi terhormat DPR/DPRD sudah terjadi pada era orde baru. Yang menjadi pemikiran adalah mengapa fenomena ini dapat terjadi? Apakah mampu para artis tersebut menjadi pemipin daerah tanpa memiliki latar belakang pengetahuan politik sebelumnya? Sedangkan politisi yang telah lama berkecimpung di dunia politik saja belum tentu dapat menjadi pemimpin yang baik.

Pembahasan

Masyarakat Indonesia selain mengharapkan adanya tokoh-tokoh muda yang siap menjadi pemimpin politik baik itu di tingkat daerah (menjadi bupati atau gubernur) maupun ditingkat nasional (menjadi presiden), masyarakat juga mengharapkan munculnya tokoh-tokoh alternatif yang potensial, bukan hanya tokoh-tokoh lama yang sudah tua dan dianggap tidak membawa perubahan.  
Dulu, ada imej, artis sebagai penghibur saja. Bahkan, ada yang berprilaku ‘aneh-aneh’. Kini, ternyata citra artis membumbung, dan dipercaya rakyat untuk mengantungkan harap.
Lain halnya dengan politikus. Citra mereka  sedang babak belur. Mulai dari kasus syahwat sampai korupsi. Yang terakhir sedang mengalami peak: Tiada hari tanpa berita korupsi politikus di media cetak dan elektronik.
Ini bukan menjadi hal yang tabu lagi artis jadi politisi, namun tetap saja, selalu menuai kontradisksi karena artis dianggap kurang kredibel dan mengambil jalan pintas (instant) dalam berpolitik dengan mengandalkan kepopulerannya.
Sejumlah iming-iming fasilitas dan jabatan kehormatan mungkin menjadi salah satu daya tarik yang kuat bagi para seleb yang mencoba keberuntungan di kancah politik. Memang tidak ada yang salah, apalagi di negara demokrasi, siapa saja boleh menjadi pemimpin.
Peluang dan Tantangan Keterlibatan artis dalam pelaksanaan pilkada selain karena keinginannya sendiri, juga karena didorong oleh kehendak masyarakat sendiri. Ini terbukti dari banyaknya artis yang justru dilamar oleh partai-partai politik untuk diusung menjadi kandidat dalam pilkada atau oleh kalangan-kalangan yang hendak maju dalam pilkada melalui jalur perseorangan.
Tapi apakah langkah para selebritis ini benar-benar sejalan dengan kemampuan mereka secara keilmuan dan kesiapan psikis untuk menjadi panutan bagi rakyat yang dipimpinnya kelak? Fakta dan sejarah perpolitikan di tanah air ini belum menunjukkan keberhasilan seorang artis ketika berkiprah di dunia politik. Bisa jadi ketika menjalankan profesi keartisannya begitu total dan menghayati peran yang dilakoninya, tetapi ketika memasuki dunia perpolitikan seolah masuk ke dunia lain yang tentu saja jauh berbeda dari panggung keartisan.
Fenomena tersebut hanya sebagian definisi dari keseluruhan. Sedang yang lain adalah selebriti karena klan politik(misalnya Puan Maharani dan Edhie Baskoro Yudhoyono), politisi yang tertimpa kasus negatif, dan siapapun yang setia memperjuangkan kebijakan publik tertentu (khususnya jika ia mampu melakukan dengan ”politik selebritis”, istilah ini membutuhkan pembahasan terpisah)
Dalam ilmu komunikasi politik, sesungguhnya definisi selebriti politik adalah tokoh mana pun (baik politisi, artis, maupun hanya orang biasa) yang mampu menyita ruang-ruang media massa dalam perbuatan atau pernyataan yang memiliki akibat politik, khusunya terhadap kebijakan politik(dalam Effendi Gazali, (Koordinator Program Magister Komunikasi Politik UI).
Kelahiran artis-politikus (anggota legislative) adalah buah dari demokrasi. Tapi, diharapkan agar Senayan tidak berubah menjadi sumber gosip. Apalagi, bila gosip-gosip yang muncul berkelas tayangan infotaimen belaka. Risiko yang dimaksud adalah, pertama, dari segi psikologi politik, polarisasi di dalam internal partai akan terbelah ke dalam dua kubu besar.
Masing-masing kubu ini dikendalikan oleh perasaan yang berbeda. Yang satu merasa sebagai penghuni tetap dan menuding kaum selebritas sebagai pendatang yang tak berkeringat. Dan, para selebritas merasa percaya diri dengan bermodal kepopulerannya.
Kedua, para artis bisa menjadi pendongkrak atau bahkan sebaliknya, menjadi batu sandungan terhadap citra perpolitikan lembaga dewan. Kedua potensi ini, sedari awal, tidak melekat pada anggota legislatif dari kalangan politisi biasa. Inilah kekhasan artis. Ada dua asumsi yang dapat digunakan sebagai penjelasannya.
Asumsi pertama adalah para artis merupakan kalangan yang telah “punya harga” tersendiri bagi dunia pers. Posisi mereka di lembaga dewan bisa jadi tinggal menunggu untuk didatangi para pemburu berita. Ibarat kata, kelak, tiada berita politik dewan tanpa kemunculan para artis. Hal ini harus benar-benar termanfaatkan secara optimal.
Memang, asumsi ini dapat ditafsirkan hanya mendudukkan para artis sekadar sebagai “bunga-bunga” politik. Karena ini adalah pasar politik yang terbuka, asumsi ini sah saja untuk dilekatkan. Sekarang, tinggal bagaimana kalangan artis meresponsnya.
Asumsi kedua adalah kelanjutan dari asumsi yang pertama di atas. Para artis kebanyakan awam dengan dunia politik praktis, maka, rawan untuk dijadikan kambing hitam terhadap buruknya kinerja dewan. Kesalahan sedikit saja menjadi tumpuan gosip tak sedap. Ujung-ujungnya, gosip-gosip itu dapat dikelola oleh politikus Senayan yang sudah profesional sebagai sumber untuk menutupi buruknya kinerja dewan secara umum.
Ketiga, ketenaran artis sebagai penguji ketenaran putra-putri mahkota yang selama ini menjadi “artis” partai. Bila dibandingkan para artis, putra-putri mahkota dari petinggi partai, itu sebenarnya tidak kalah instan dalam menduduki jabatan-jabatan puncak di dalam tubuh partai politik.
Kepopuleran yang telah mereka raih sebagai selebritis memang menjadi keuntungan tersendiri dibanding dengan politikus yang masih harus berusaha menjadi “seleb”. Apalagi jika keinginan para seleb ini lebih dipopulerkan melalui infotainment yang menyosialisasikan setiap tingkah selebritis ini.
Kepopuleran yang mereka miliki seolah menjadi modal terbesar untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat. Seabrek alasan lain juga diutarakan sebagai pembenar mengapa para seleb ini memilih banting setir ke dunia politik, bahkan tidak sedikit dari mereka yang memilih hengkang total dari dunia keartisan yang selama ini membesarkan namanya. Meskipun ada sebagian yang bisa mempersandingkan antara dunia politik dan profesi keartisan.

Solusi

Seorang artis yang mau terjun ke dunia politik hendaknya memahami betul apakah keinginannya itu betul-betul untuk kepentingan rakyat dan bukan hanya menambah kepopulerannya semata, melainkan memerhatikan kemampuan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah.
Akan lebih bijak  jika seorang artis sebelum memutuskan untuk hengkang dari panggung keartisan ke panggung politik, memahami, mempelajari dan menimba pengalaman dunia perpolitikan lebih dahulu.
Hendaknya para artis bersabar dan berproses dalam mengenal dunia politik. Terus belajar, membaca dan memahami serta memberikan solusi terhadap isu-isu sosial dan politik akan menjadi modal dasar bagi siapapun yang memutuskan untuk berpolitik.
Para politikus harus berbenah diri. Mempertebal kompetensi, menghilangkan citra negatif karena perilaku tidak terpuji seperti kasus seksual atau korupsi. Politikus yang bukan haus ‘kekuasaan’ dan dengan itu memperkaya diri, tetapi politikus yang benar-benar, sepertri dikampanyekan, berjuang demi rakyat, memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Rakyat juga sebaiknya lebih bisa memilah siapa yang akan mereka pilih nanti. Pilihan yang tepat akan membuat daerah yang dipimpin calon tersebut lebih baik. Sebaliknya, jika salah memilih pemimpin, bisa jadi si pemimpin bakal salah urus.

 
DAFTAR PUSTAKA

Pati, Sakka. 2010. Ketika Artis Menggoyang Pilkada. http://www.fajar.co.id/koran/1270430725FAJAR.UTM_5_4.pdf. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.00. 

Gultom, Binsar M. 2009. Menimbang Serbuan Caleg Artis. http://www.surya.co.id/2009/04/28/menimbang-serbuan-caleg-artis.html. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.20. 


Ilmu Psikologi Indonesia.2008. Demo Presi 2. http://www.ilmupsikologi.com/?p=57. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.00. 



Nurul. 2010. Artis Kurang sabar Berpolitik. http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/24/nurul-arifin-artis-kurang-besabar-untuk-. berpolitik/. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.10. 


PTTUN. 2009. Tren Artis Bertarung di Pilkada. http://www1.pttun-jakarta.go.id/gpdf.php?pdf=artikel&id=7. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.15. 


Suhendi, Adi. 2010. Politisi PKS: Kasihan, Artis Hanya Diperalat Parpol. http://www.tribunnews.com/2010/04/19/politisi-pks-kasihan-artis-hanya-diperalat-oleh-parpol. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.25. 


Bh. 2008. Fenomena Artis Jadi Politisi. http://alinur.wordpress.com/2008/04/30/fenomena-artis-jadi-politisi/. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.28. 


Abbas, Ersis Warmansyah. 2008. Artis Versus Politik. http://webersis.com/2008/07/09/artis-versus-politikus/. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.55. 


Halilintar. 2009. Artis Jadi Politikus, Politikus Jadi Artis. http://halilintarblog.blogspot.com/2009/01/artis-jadi-politikus-politikus-jadi.html. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 15.05. 



Zeena, Rahmat. Artis Ramaikan Pilkada, Politisi Salahkan UU. http://software-pilkada.com/component/content/article/57-pilkada/190-artis-ramaikan-pilkada-politisi-salahkan-uu. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.50. 


Gazali Efendi. 2008. Ketika Slebriti Berpolitik Kosong. http://webdev.ui.ac.id/download/kliping/070808/ketika_selebriti_berpolitik_kosong.pdf. Diakses pada tanggal 30 April, pukul 14.35. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar